SOSIOLINGUISTIK | RUANG BAHASA
Campur Kode dalam Proses Pembelajaran Bahasa Jepang
Bahasa menjadi hal yang penting
dalam kehidupan manusia. Bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi
antarmanusia. Bahasa digunakan untuk menyampaikan pesan dan merupakan kode yang ditentukan
oleh kelompok atau masyarakat pemakainya. Dalam sosiolinguistik, bahasa
merupakan gejala sosial yang pemakaiannya dipengaruhi oleh faktor nonlinguistik
atau faktor eksternal bahasa (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 4). Faktor
nonlinguistik dapat berupa faktor sosial dan situasional. Faktor sosial berupa
pendidikan, ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya. Sedangkan faktor
situasional berupa pembicara, lawan bicara, waktu berbicara, dan lainnya. Salah
satu bidang kajian sosiolinguistik adalah campur kode. Campur kode adalah peristiwa percampuran dua
atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur. Campur kode digunakan
oleh masyarakat multilingual sebagai salah satu ragam bahasa dalam percakapan.
Peristiwa
campur kode merupakan fenomena dwibahasa yang berkaitan dengan tindak tutur.
Tindak tutur adalah tindak komunikasi untuk menyampaikan informasi dari penutur
kepada mitra tutur dengan maksud dan tujuan tertentu. Dalam tindak komunikasi,
penutur yang merupakan dwibahasawan menentukan pilihan kode (code choice) yang akan digunakan untuk
berkomunikasi. Pemilihan kode dipicu oleh beberapa hal, seperti lawan bicara,
topik pembicaraan, suasana, dan sebagainya. Suwito (1985: 67-69) mengatakan
bahwa kode digunakan untuk menyebutkan salah satu varian di dalam hierarki
kebahasaan. Varian kebahasaan berupa varian regional (seperti bahasa Jawa
dialek Solo), kelas sosial (seperti bahasa Jawa halus), ragam bahasa (seperti
ragam bahasa sopan), dan varian kegunaan (seperti bahasa pidato).
Bagi guru bahasa Jepang, percampuran kode kerap
dilakukan dalam proses belajar mengajar di kelas. Ketika guru bahasa Jepang
berkomunikasi dengan siswa, guru tersebut akan menggunakan setidaknya dua
bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Dalam peristiwa tersebut
terjadi kontak antarbahasa, yaitu interaksi dua bahasa atau lebih dalam
berkomunikasi. Penutur dalam hal ini adalah guru, menggunakan suatu bahasa secara
dominan yang mendukung tuturan dengan disisipi oleh unsur bahasa lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik
penutur, lawan
tutur, topik pembicaraan, ataupun tingkat penguasaan bahasa. Situasi yang santai atau informal dan keterbatasan
bahasa berupa tidak adanya padanan kata yang tepat juga mendorong terjadinya peristiwa
campur kode.
Nursaid dan Marjusman Maksan
(dalam Murliaty dkk, 2013: 284) menyebutkan bahwa arah campur kode terbagi
menjadi dua, yaitu campur kode ke dalam (inner
code mixing) dan campur kode ke luar (outer
code mixing). Dalam proses pembelajaran bahasa Jepang, guru melakukan
campur kode ke luar yaitu mencampurkan bahasa utama (bahasa Indonesia) dengan
bahasa yang diajarkan (bahasa Jepang). Campur kode yang dilakukan oleh guru
bahasa Jepang dapat berbentuk penyisipan unsur-unsur yang berwujud (1) kata,
(2) frasa, (3) pengulangan kata, (4) ungkapan atau idiom, (5) klausa, dan (6)
baster. Berikut ini adalah salah satu contoh campur kode yang dilakukan dalam
proses belajar mengajar bahasa Jepang.
Guru : “Minna san, ohayougozaimasu!”
Siswa: “Sensei, ohayougozaimasu!”
Guru : “Sebelum masuk
ke materi baru, mari kita fukushuu dulu. Minna san, buka halaman
89. Ada contoh percakapan yang dilakukan di gakkou. Sudah ketemu?”
Siswa: “Sudah, Bu.”
Guru : “Oke, isshoni yomimashou!”
(Terjemahan)
Guru : “Selamat pagi, anak-anak!”
Siswa: “Selamat pagi, Bu!”
Guru : “Sebelum masuk ke materi
baru, mari kita pengulangan dulu. Anak-anak, buka halaman 89. Ada contoh
percakapan yang dilakukan di sekolah. Sudah ketemu?”
Siswa: “Sudah, Bu.”
Guru : “Oke, mari baca bersama-sama!”
Dalam
situasi formal seperti pembelajaran di kelas, guru melakukan campur kode dengan
maksud dan tujuan tertentu. Campur kode dilakukan untuk memperjelas komunikasi
dengan siswa atau bahkan untuk menarik perhatian siswa. Pada contoh di atas,
guru melakukan campur kode ketika memulai pembelajaran. Guru bermaksud untuk
menarik perhatian siswa agar fokus pada materi pembelajaran. Adapun tujuan
akademis dari percampuran kode yaitu guru menyisipkan beberapa kata bahasa
Jepang yang menjadi topik atau materi pembelajaran agar siswa mudah memahami
materi yang diajarkan.
Sosiolinguistik
memiliki peran penting dalam pengajaran bahasa. Salah satu kajian
sosiolinguistik yang kerap diteliti dan ditemui adalah campur kode. Campur kode
kerap terjadi dalam proses pembelajaran bahasa Jepang. Keberhasilan guru dalam
menyampaikan materi pembelajaran bergantung pada pemilihan bahasa saat
berkomunikasi dengan siswa. Tidak dapat dipungkiri ketika guru bahasa Jepang
menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa, tentu akan menggunakan minimal
dua bahasa secara bergantian. Ada berbagai faktor yang memicu terjadinya peristiwa
campur kode. Di balik pencampuran kode terdapat maksud dan tujuan tertentu dari
penutur. Dapat dikatakan bahwa campur kode merupakan strategi yang digunakan
oleh guru untuk menyampaikan materi bahasa Jepang kepada siswa.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan Leonie Agustine. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Murliaty dkk. 2013. “Campur Kode Tuturan Guru Bahasa Indonesia dalam Proses
Belajar Mengajar: Studi Kasus di Kelas VII SMP N 20 Padang”. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Vol. 1 No. 2 Maret 2013: Seri D 241-317. Tersedia:
http://media.neliti.com/media/publications/118940-ID-campur-kode-tuturan-guru-dalam-proses-be.pdf.
Suwito. 1985. Pengantar Awal
Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Henary Offset.
Comments
Post a Comment