Dilema Bapak Gojek

           Seperti biasanya, siang ini dia melajukan kendaraan membelah kota Jogja. Mengharap pundi-pundi rupiah dan tentu saja pundi-pundi poin akan dia dapatkan hari ini. Pemandangan yang sama seperti sabtu-sabtu sebelumnya, padat merayap, panas, bunyi klakson saling bersautan. Aku memesan gojek karena motor yang kupakai biasanya sedang ada di bengkel. Tak lama setelah memesan, kudapati seorang gojek, laki-laki paruh baya sepertinya. Telepon pun berbunyi, tanda panggilan masuk. Langsung saja aku angkat dan benar saja itu dari bapak gojek yang menerima pesananku. Aku jelaskan dengan detail posisiku saat ini dan seperti apa ciri-ciri diriku. Tidak sampai sepuluh menit, aku lihat sebuah motor mendekat. Nomor plat sesuai dengan yang tertulis di identitas driver yang akan menjemputku.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan meninggalkan segelas kopi yang masih ada setengah. Seperti biasa, bapak itu menyapa penumpangnya dengan ramah dan menyodorkan helm. Lekas kupakai helmnya dan bapak gojek mulai melajukan motornya. Di tengah perjalanan, kami sempat berbicara tentang banyak hal. Mungkin itu salah satu cara driver untuk mengalihkan kepenatannya akan padatnya jalanan. Mulanya, kami hanya membicarakan soal identitas masing-masing. Sampai di satu bagian yang membuat saya tertarik untuk mendengarkannya dengan seksama. Tepat sebelum dia menerima pesananku, dia telah “dikerjai” oleh calon penumpangnya. Hal ini pasti juga pernah dialami oleh driver lain dan dilakukan oleh calon penumpang lain.
Calon penumpang pertama. Dia berada di posisi tengah kota dengan kondisi jalan menuju ke sana cukup padat. Akibatnya, waktu yang dibutuhkan untuk sampai di lokasi penjemputan lebih banyak daripada hari biasa yang tidak padat kendaraan. Tapi, calon penumpang pertama lantas membatalkan pesanannya mungkin karena keterlambatan menjemput. Dan bapak ini mengetahui hal itu setelah sampai di lokasi penjemputan.
Calon penumpang kedua. Dia memesan dan menerima telepon dari bapak ini. Setelah berbicara panjang lebar tentang lokasi penjemputan lalu melajukan motor agar tidak lagi terlambat. Setelah sampai di lokasi penjemputan, spontan bapak ini mengeluarkan gawai untuk menelepon calon penumpangnya. Tidak ada jawaban. Telepon kedua, tidak ada jawaban lagi. Telepon ketiga, nomor tidak aktif.
Aku melihat raut wajahnya lewat spion motornya. Sedih. Kecewa. Marah. Ikhlas. Di satu sisi, bapak ini merasa kecewa atas tindakan calon penumpang yang terkesan tidak memikirkan kondisi dia. Tapi di lain sisi, dia juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan calon penumpang, mungkin ini memang bukan rejeki dia. Perkara performa lebih penting baginya ketimbang menyalahkan keadaan. Dibatalkan oleh calon penumpang berarti performa dia turun dan harus kejar setoran untuk meningkatkan performa.
Jika memutuskan memesan, maka tetap gunakan jasa yang menerima pesananmu. Driver tidak tahu kesibukan calon penumpangnya, calon penumpang tidak tahu kondisi jalanan yang dilalui driver.  Yuk, jadi calon penumpang yang pintar! Saling menghargai satu sama lain.  

Comments

Popular posts from this blog

Penghujung Februari

Ekstensi Tuh Kayak Gini

Natural Approach